Sunday 14 June 2015

Teori Komunikasi dalam Sastra

Review BAB VI Buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Karangan Nyoman Kutha Ratna

Salah satu ciri karya sastra yang sangat penting yakni sebagai sistem komunikasi. Secara garis besar komunikasi dilakukan melalui, 1) interaksi sosial, 2) aktivitas bahasa (lisan maupun tulisan), dan 3) mekanisme teknologi. Komunikasi dalam sastra penting sekaligus rumit sebab, a) karya sastra merupakan model kedua, dan b) pada dasarnya sekaligus memanfaatkan ketiga unsur di atas. Karya sastra bukan semata-mata bahasa, melainkan bahasa yang sudah dimodifikasi secara artifisial. Kualitas tokoh-tokoh, seperti tokoh utama, kedua, ketiga, dan seterusnya, narator dengan variasi status peranan dalam proses interaksi ,jelas meupakan sistem komunikasi yang sangat kompleks yang tidak ada dalam kehidupan praktis sehari-hari. Karya sastra sebagi seni waktu, karya sastra dengan bahasa diskursif jelas melahirkan sistem komunikasi yang rumit dan kompleks sebab mekanisme komunikasi secara terus menerus berbeda dan tertunda. Karya sastra adalah sistem komunikasi sebab setiap unit wacana berhubungan dan dapat dihubungkan dengan wacana lain, dari semestaan yang lain.
Dilihat dari segi tanggung jawabnya, tugas ilmuan dan seniman pada dasarnya sama, yaitu membawa manusia pada tingkat kehidupan yang lebih baik, sebagai tanggung jawab moral. Apabila ternyata kemudian terjadi berbagai penyimpangan, seperti pengunaan hasil-hasil teknologi untuk menghancurkan manusia, hal itu diaangap sebagai masalah lain.
Menurut Foucault, ada dua masalah yang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan pengarang dan hasil karyanya. Pertama, atas dasar kekuatan wacana, karangan bergerak melewati aturan, kerangka awal yang disediakan oleh penulis. Melalui kemampuan pembaca, pada gilirannya karangan pun meninggalkan aturan tersebut. Penulis dihilangkan sebab dianggap tidak relevansi lagi, bahkan penulis dianggap anonimitas. Oleh karena itulah, dianggap sebagai kegagalan, bahkan kekeliruan, misalnya, berbagai usaha dilakukan untuk menggali informasi melalui biografi penulis. Kedua, pengarang dan karyanya merupakan hubungan antara kelahiran dan kematian. Dalam hubungan ini pun perlu diperhatikan adanya dua konsep. Pertama, kematian dalam rangka menemukan suatu keabadian, sesuai dengan mitos Yunani Kuno, termasuk kamatian para Nabi sesuah menurunkan firman-Nya kepada umat manusia. Kedua, strategi yang justru menghindarkan diri dari kematian seperti terkandung dalam cerita-cerita The Arabian Nights. Dalam konsep yang pertama karya mempunyai kewajiban untuk menciptakan keabadian dengan membunuh penulisnya, penulis sebagai korban karangan yang dibuatnya, sedangkan dalam konsep yang kedua karya menyelamatkan subjek dari kematian dengan cara menceritakannya selama bermalam-malam. Anoninimitas sastra lama memiliki implikasi lain. Cerita bisa diceritakan kembali, bahkan dimiliki oleh orang lain sebab setiap penceritaan kembali merupakan karya sastra baru.

Sebagai subjek kreator, kondisi pengarang dalam memberikan arti terhadap karya yang dihasilkan juga dipermasalahkan. Dengan mengintroduksi pendapat Hirch, Juhl (1980: 27) membedakan anatara arti (meaning) dan makna (significance). Arti adalah nilai sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang, sedangkan makna adalah nilai sebagaimana dihasilkan oleh pembaca. Arti karya sastra hanya satu, yang disebutkan sebagai penulis, tidak ambigu, sedangkan makna tergantung pada sutuasi pembaca. Karya sastra dalam pengertian yang terakhir ditulis oleh pembaca, writterly menurut pemahaman Barthes.
Implikasi terpenting menghilangnya pengarang dalam intansi penulisan karya fiksi adalah lahirnya peranan sudut pandang atau fokalisasi. Fokalisasi dapat dilakukan oleh seorang tokoh dalam cerita, atau oleh juru cerita itu sendiri. Menceritakan sesuatu pasti menyangkut fokalisasi. Artinya, menceritakan sesuatu pasti dilakukan melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator.
Sebagai metode dan teknik bercerita, fokalisasi memiliki kaitan dengan status peranan. Penelitian dapat dilakukan dengan cara menentukan, misalnya, dari sudut mana (peranan), sebagai apa (status) seseorang fokalisator melakuan suatu identifikasi terhadap objek. Fokalisasi dapat meningkatkan pemahaman mengenai aspek-aspek kemasyarakatan sebuah karya sastra yang dianalisis. Model actans, yaitu peran-peran abstrak yang dikembangkan oleh Greimas, seperti: pejuang, tujuan, kekuasaan, orang yang dianugrahi, pembantu, dan pengalang, dapat membantu dalam menjelaskan hubungan antara fokalisasi dengan struktur peranan sosial.
Fokalisasi juga bermanfaat sebagai akibat suatu cerita diceritakan kembali, sehingga menimbulkan berbagai perspektif yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat dijelaskan sebagaimana dalam sastra tradisional, seorang pencerita menceritakan kembali suatu cerita. Inilah asal-muasal pencerita mahatahu, dengan menggunakan metode orang ketiga. Menghilangnya pengarang, berarti cerita menjadi perhatian, maka sudut pandang pun bertambah penting.
Pada dasarnya sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) sudut pandang orang pertama, atau sudut padang berperan serta, dan b) sudut padang orang ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak berperan serta. Sudut pandang orang pertama berkaitan erat dengan pencerita, dengan penulis, sehingga seolah-olah ia mengalami secara langsung ceritanya. Pencerita dalam sudut pandang oran ketiga berada di luar cerita sehingga pencerita tidak memihak terhadap tokoh dan kejadian yang diceritakan. Dengan menggunakan kata ganti ‘aku’, sudut pandang orang pertama sangat dekat dengan biografi, seolah olah sebagai biografi pengarang. Jadi, yang diceritakan seolah-olah terbatas terhadap apa yang diketahui. Sudut pandang orang ketiga disebut juga metode dalang atau sudut pandang mahatahu sebab melalui para narrator pencerita primer mengetahui seluruh pikiran tokoh. Usia pengarang seolah-olah tak terbatas. Dengan menggunakan kata ganti nama ia, dia, dan mereka, pengarang dapat menceritakan suatu kejadian jauh ke masa lampau dan ke masa depan.
Dengan membandingkan fungsi dan hakikat pembaca dengan penulis karya sastra, teori sastra kontemporer jelas menunjukkan bahwa system komunikasi didominasi oleh pembaca. Jaringan hubungan dienergisasikan oleh peranan pembaca sebab wacana dipahami sesuai dengan kompetensi pembaca. Secara historis pengarang hanya satu, bersifat factual, Karena itu, dapat mati dan dimatikan. Sebaliknya, pembaca bersifat fiksional, mereka lahir terus, kematiannya selalu digantikan oleh pembaca lain, dan selalu lebih mutakhir dengan pembaca terdahulu. Roh dan reinkernasi karya sastra ada dalam pembaca. Berbeda dengan pengarang yang mengandung nilai arketipe, pembaca selalu jamak, kekuasaan lahir dari bawah, dari para pembaca itu sendiri, kekuasaan melahirkan kompetisi, tidak saling menaklukkan tetapi dalam rangka mencari makna baru. Pada gilirannya makan yang terbaru itu pun harus didekontruksi sehingga yang tinggal hanyalah jejak atau bekas. Fungsi terpenting didominasi pembaca adalah kemampuannya untuk mengungkapkan kekayaan karya sastra. Secara historis pragmatis pengarang mengarang sebuah karya sastra, dengan memasukkan berbagai aspek ke dalammnya, bak aspek intrinsic dan ekstrinsik.
Pembaca jelas berbeda-beda, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas sosial, dan wilayah geografis. Karya sastra dapat mengantisipasi keragaman pembaca tersebut sebab karya sastra terdiri atas berbagai jenis, sedangkan jenis itu pun tidak statis, melainkan selalu berubah. Menurut Luxemburg, dkk pembaca dibedakan menjadi dua macam, yaitu a) pembaca di dalam teks, dan b) pembaca di luas teks. Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu a) pembaca implisit, dan b) pembaca ekspilist. Pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam yaitu a) pembaca yuang diandaikan, dan b) pembaca yang sesungguhnya. Pembaca implisit mengacu pada partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca yang dituju oleh pengarang. Pembaca implisit merupakan konsep pokok estetika resepsi, konsep yang memungkinkan bagi pembaca untuk memahami karya. Sebaliknya, pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara langsung, pada umumnya dengan menggunakan kalimat “Pembaca yang budiman”, “Seperti kita ketahui”, dan sebagainya. Pembaca yang berada di luar teks, pembaca yang (seharusnya) disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan membaca suatu karya oleh pengarang. Istilah lain yang muncul dalam kaitannya dengan pembaca, di antaranya: pembaca yang diintensikan (Wolf), pembaca yang diinformasikan (Fish), dan pembaca yang mahatahu (Riffaterre). Atas dasar uraian pengarang, karya sastra, dan pembaca seperti yang diulas di atas, menjadi jelas bahwa system komunikasi sastra sangat rumit dan kompleks. Sebagai system komunikasi sastra secara menyeluruh. 

0 comments:

Post a Comment

 
© 2013 PENERBIT ALOY | Designed by Making Different | Provided by Techvela | Powered by Blogger