Review BAB VI Buku Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra Karangan Nyoman Kutha Ratna
Salah
satu ciri karya sastra yang sangat penting yakni sebagai sistem komunikasi. Secara
garis besar komunikasi dilakukan melalui, 1) interaksi sosial, 2) aktivitas
bahasa (lisan maupun tulisan), dan 3) mekanisme teknologi. Komunikasi dalam
sastra penting sekaligus rumit sebab, a) karya sastra merupakan model kedua,
dan b) pada dasarnya sekaligus memanfaatkan ketiga unsur di atas. Karya sastra
bukan semata-mata bahasa, melainkan bahasa yang sudah dimodifikasi secara
artifisial. Kualitas tokoh-tokoh, seperti tokoh utama, kedua, ketiga, dan
seterusnya, narator dengan variasi status peranan dalam proses interaksi ,jelas
meupakan sistem komunikasi yang sangat kompleks yang tidak ada dalam kehidupan
praktis sehari-hari. Karya sastra sebagi seni waktu, karya sastra dengan bahasa
diskursif jelas melahirkan sistem komunikasi yang rumit dan kompleks sebab
mekanisme komunikasi secara terus menerus berbeda dan tertunda. Karya sastra
adalah sistem komunikasi sebab setiap unit wacana berhubungan dan dapat
dihubungkan dengan wacana lain, dari semestaan yang lain.
Dilihat
dari segi tanggung jawabnya, tugas ilmuan dan seniman pada dasarnya sama, yaitu
membawa manusia pada tingkat kehidupan yang lebih baik, sebagai tanggung jawab
moral. Apabila ternyata kemudian terjadi berbagai penyimpangan, seperti
pengunaan hasil-hasil teknologi untuk menghancurkan manusia, hal itu diaangap
sebagai masalah lain.
Menurut
Foucault, ada dua masalah yang perlu dipertimbangkan dalam kaitannya dengan
pengarang dan hasil karyanya. Pertama, atas dasar kekuatan wacana, karangan
bergerak melewati aturan, kerangka awal yang disediakan oleh penulis. Melalui
kemampuan pembaca, pada gilirannya karangan pun meninggalkan aturan tersebut.
Penulis dihilangkan sebab dianggap tidak relevansi lagi, bahkan penulis
dianggap anonimitas. Oleh karena itulah, dianggap sebagai kegagalan, bahkan
kekeliruan, misalnya, berbagai usaha dilakukan untuk menggali informasi melalui
biografi penulis. Kedua, pengarang dan karyanya merupakan hubungan antara
kelahiran dan kematian. Dalam hubungan ini pun perlu diperhatikan adanya dua
konsep. Pertama, kematian dalam rangka menemukan suatu keabadian, sesuai dengan
mitos Yunani Kuno, termasuk kamatian para Nabi sesuah menurunkan firman-Nya
kepada umat manusia. Kedua, strategi yang justru menghindarkan diri dari
kematian seperti terkandung dalam cerita-cerita The Arabian Nights. Dalam
konsep yang pertama karya mempunyai kewajiban untuk menciptakan keabadian
dengan membunuh penulisnya, penulis sebagai korban karangan yang dibuatnya,
sedangkan dalam konsep yang kedua karya menyelamatkan subjek dari kematian
dengan cara menceritakannya selama bermalam-malam. Anoninimitas sastra lama
memiliki implikasi lain. Cerita bisa diceritakan kembali, bahkan dimiliki oleh
orang lain sebab setiap penceritaan kembali merupakan karya sastra baru.
Sebagai
subjek kreator, kondisi pengarang dalam memberikan arti terhadap karya yang dihasilkan
juga dipermasalahkan. Dengan mengintroduksi pendapat Hirch, Juhl (1980: 27)
membedakan anatara arti (meaning) dan
makna (significance). Arti adalah
nilai sebagaimana dimaksudkan oleh pengarang, sedangkan makna adalah nilai
sebagaimana dihasilkan oleh pembaca. Arti karya sastra hanya satu, yang
disebutkan sebagai penulis, tidak ambigu, sedangkan makna tergantung pada
sutuasi pembaca. Karya sastra dalam pengertian yang terakhir ditulis oleh
pembaca, writterly menurut pemahaman
Barthes.
Implikasi
terpenting menghilangnya pengarang dalam intansi penulisan karya fiksi adalah
lahirnya peranan sudut pandang atau fokalisasi. Fokalisasi dapat dilakukan oleh
seorang tokoh dalam cerita, atau oleh juru cerita itu sendiri. Menceritakan
sesuatu pasti menyangkut fokalisasi. Artinya, menceritakan sesuatu pasti dilakukan
melalui perspektif tertentu sesuai dengan sudut pandang fokalisator.
Sebagai
metode dan teknik bercerita, fokalisasi memiliki kaitan dengan status peranan.
Penelitian dapat dilakukan dengan cara menentukan, misalnya, dari sudut mana
(peranan), sebagai apa (status) seseorang fokalisator melakuan suatu
identifikasi terhadap objek. Fokalisasi dapat meningkatkan pemahaman mengenai
aspek-aspek kemasyarakatan sebuah karya sastra yang dianalisis. Model actans, yaitu peran-peran abstrak yang
dikembangkan oleh Greimas, seperti: pejuang, tujuan, kekuasaan, orang yang
dianugrahi, pembantu, dan pengalang, dapat membantu dalam menjelaskan hubungan
antara fokalisasi dengan struktur peranan sosial.
Fokalisasi
juga bermanfaat sebagai akibat suatu cerita diceritakan kembali, sehingga
menimbulkan berbagai perspektif yang berbeda-beda. Secara sederhana dapat
dijelaskan sebagaimana dalam sastra tradisional, seorang pencerita menceritakan
kembali suatu cerita. Inilah asal-muasal pencerita mahatahu, dengan menggunakan
metode orang ketiga. Menghilangnya pengarang, berarti cerita menjadi perhatian,
maka sudut pandang pun bertambah penting.
Pada
dasarnya sudut pandang dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu: a) sudut pandang
orang pertama, atau sudut padang berperan serta, dan b) sudut padang orang
ketiga yang disebut juga sudut pandang tidak berperan serta. Sudut pandang
orang pertama berkaitan erat dengan pencerita, dengan penulis, sehingga
seolah-olah ia mengalami secara langsung ceritanya. Pencerita dalam sudut
pandang oran ketiga berada di luar cerita sehingga pencerita tidak memihak
terhadap tokoh dan kejadian yang diceritakan. Dengan menggunakan kata ganti
‘aku’, sudut pandang orang pertama sangat dekat dengan biografi, seolah olah
sebagai biografi pengarang. Jadi, yang diceritakan seolah-olah terbatas
terhadap apa yang diketahui. Sudut pandang orang ketiga disebut juga metode
dalang atau sudut pandang mahatahu sebab melalui para narrator pencerita primer
mengetahui seluruh pikiran tokoh. Usia pengarang seolah-olah tak terbatas.
Dengan menggunakan kata ganti nama ia, dia, dan mereka, pengarang dapat
menceritakan suatu kejadian jauh ke masa lampau dan ke masa depan.
Dengan
membandingkan fungsi dan hakikat pembaca dengan penulis karya sastra, teori
sastra kontemporer jelas menunjukkan bahwa system komunikasi didominasi oleh
pembaca. Jaringan hubungan dienergisasikan oleh peranan pembaca sebab wacana
dipahami sesuai dengan kompetensi pembaca. Secara historis pengarang hanya
satu, bersifat factual, Karena itu, dapat mati dan dimatikan. Sebaliknya,
pembaca bersifat fiksional, mereka lahir terus, kematiannya selalu digantikan
oleh pembaca lain, dan selalu lebih mutakhir dengan pembaca terdahulu. Roh dan
reinkernasi karya sastra ada dalam pembaca. Berbeda dengan pengarang yang
mengandung nilai arketipe, pembaca selalu jamak, kekuasaan lahir dari bawah,
dari para pembaca itu sendiri, kekuasaan melahirkan kompetisi, tidak saling
menaklukkan tetapi dalam rangka mencari makna baru. Pada gilirannya makan yang
terbaru itu pun harus didekontruksi sehingga yang tinggal hanyalah jejak atau
bekas. Fungsi terpenting didominasi pembaca adalah kemampuannya untuk
mengungkapkan kekayaan karya sastra. Secara historis pragmatis pengarang mengarang
sebuah karya sastra, dengan memasukkan berbagai aspek ke dalammnya, bak aspek
intrinsic dan ekstrinsik.
Pembaca
jelas berbeda-beda, baik dari segi usia, jenis kelamin, profesi, kelas sosial,
dan wilayah geografis. Karya sastra dapat mengantisipasi keragaman pembaca
tersebut sebab karya sastra terdiri atas berbagai jenis, sedangkan jenis itu
pun tidak statis, melainkan selalu berubah. Menurut Luxemburg, dkk pembaca
dibedakan menjadi dua macam, yaitu a) pembaca di dalam teks, dan b) pembaca di
luas teks. Pembaca di dalam teks ada dua macam, yaitu a) pembaca implisit, dan
b) pembaca ekspilist. Pembaca di luar teks juga dibedakan menjadi dua macam
yaitu a) pembaca yuang diandaikan, dan b) pembaca yang sesungguhnya. Pembaca
implisit mengacu pada partisipasi aktif pembaca dalam memahami karya, pembaca
yang dituju oleh pengarang. Pembaca implisit merupakan konsep pokok estetika
resepsi, konsep yang memungkinkan bagi pembaca untuk memahami karya.
Sebaliknya, pembaca eksplisit adalah pembaca yang disapa secara langsung, pada
umumnya dengan menggunakan kalimat “Pembaca yang budiman”, “Seperti kita
ketahui”, dan sebagainya. Pembaca yang berada di luar teks, pembaca yang
(seharusnya) disapa oleh pengarang, pembaca yang diumpamakan membaca suatu
karya oleh pengarang. Istilah lain yang muncul dalam kaitannya dengan pembaca,
di antaranya: pembaca yang diintensikan (Wolf), pembaca yang diinformasikan
(Fish), dan pembaca yang mahatahu (Riffaterre). Atas dasar uraian pengarang,
karya sastra, dan pembaca seperti yang diulas di atas, menjadi jelas bahwa
system komunikasi sastra sangat rumit dan kompleks. Sebagai system komunikasi
sastra secara menyeluruh.
0 comments:
Post a Comment