Oleh
Mariyadi
Dalam
perkembangannya, sastra dan kritik sastra selalu berubah-ubah paham. Pertama
paham sastra sebagai pendidikan, kedua seni untuk seni, dan seni sebagai
humanisme universal. Pada masa permulaan
kesustraaan Indonesia (sekitar 20-an), belumlah dikemukakan teori tentang
penilaian, kecuali hanya dapat kita simpulkan dari karya-karya sastrawana,
yaitu bahwa kesusastraan harus memberi didikan kepada masyarakat. Oleh karena
itu, secara objektif, karya-karya mereka ditinjau dari hakekat seni sastra
kurang mutu seninya.
Setelah
taraf pendidikan (taraf pertama), taraf kedua diawali dengan munculnya
sastrawan-sastrawan Pujangga Baru, maka timbul pula paham-paham tentang seni
pada umumnya dan sastra pada khususnya. Tokoh utama dalam zaman in adalah Sutan
Takdir Alisjahbana, amir hamzah, Sanusie Pane, dan Armin Pane.
Sesuai
dengan pandangannya seni betendens dan pandangan bahwa dalam hal kebudayaan
Indonesia baru hasulah berorientasi ke barat, maka STA mengkritik karya sastra
yagm tidak bertendens kemajuan sebagai karya yang lemah, sedangkan pernyataan
seninya dijatuhkan pada nomor dua.
Dengan
pendapatnya, penilaian takdir cendrung kepada absolitisime, soalnya, dalam seni
bukannya hanya mencari keindahan melulu. Akan tetapi, dengan adanya “keindahan”
tentu ide yang dikemukakan akan menjadi lebih menarik Karena lebih
menyenangkan. Dengan demikian, sesungguhnya kepatahuhan kepada hakekat dan
hokum seni sastra bukannya kepatuhan tanpa tujuan.
Selama
perang kemerdekaan karena agresi Belanda, masuklah paham baru yang diperkenalkan
oleh van Nieuwenhuyze kepada para sastrawan Indoenesia di Jakarta, ialah paham
“humanisme”, yang pada akhirnya terkenal dengan nama “humanisme universal”,
sedang para sastrawan di pedalaman turut berjuang, menggabungkan diri dengan
para gerilyawan, mengacaubalaukan benteng pertahanan Belanda.
Baru
sesudah pemulihan kekuasaan ke tangan Pemerintah Republik Indoensia 27 Desember
1949, perumusan mengenai paham dan
penlaian terhadap kessteraan dibuat oleh para sastrawan angkatan 45. Perumusan
itu termuat dalam surat kepercayaan gelanggang bertanggal 18 perbruari 1950 dan
dimuat dalam majalah siasat 22 oktober 1950.
Para
sastrawan baru itu menginginkan kebudayaan Indonesia baru, yang terjadi dari
ramuan kebudayaan dunia dan dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri.
Sebab itu mereka menghendaki penilaian yang baru untuk mengganti penilaian yang
using. Tentunya di sii yang dimaksudkan dengan penilaian usang itu, dalam
bidang sastra, ialah penilaian Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Dalam mencari dan
menemukan yang pokohj ditemui ialah manusia. Ini sesuai dengan paham humanisme
universal tersebut, yaitu paham yamg mementingkan hakekat manusia universal,
yamg umum, tanpa membeda-bedakan golongan bangsa.
Sementara
itu kerena adanya bermaca-macam golongan di Indonesia ini, maka pada tanggal 17
Agustus 1950 berdirilah Lembaga
Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Dalam lekra ini berkumpullah
karyawan-karyawan seni dan budaya, di antaranya para sastrawan yang berpaham
sosialisme (komunisme). Lekra menghendaki seni yang mengabdi kepada rakyat,
sebagai tercantum dalam mukadimah Lekra yang dimuat dalam majalah Zaman Baru,
no 3, Juni 1556.
Para
sastrawan Lekra menghendaki kesusteraaan yang berpaham realisme-sosialis. Paham
ini datang dari Negara sosialis Rusia dengan tokohnya Maxim Gorky. Gaung
pikiran Gorky ini bergema ke negri-negri sosialis (komunis) dan masuk juga ke Indonesia melalui
golongan komunis pada zaman gestapu. Hal ini ternyata dalam Mukadimah Lekra
yang mengemukakan bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan
penbangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan rakyat.
Serangan-serangan
dari pihak sastrawan Lekra kepada sastrawan-sastrawan yang bukan Lekra terus
berjalan sampai pada pecahnya pemberontakan G. 30 S/PKI. Serangan itu
menimbulkan reaksi para sastrawan dan budayawan di Luar Lekra sehingga akhirnya
menimbulkan tercetusnya ide baru, gagasan baru dalam bidang kebudayaan pda
umumnya, bidang kesustraan pada khusunya. Ide itu tercetus berupa “Menifest
Kebudayaan” pada tanggal 17 Agustus 1963 di Jakarta dan pada akhirnya Manikebu
di larang presiden Sukarno pada 8 Mei 1964.
Dalam
pembahasan selanjutnya dibahas beberapa contoh kritik yang dibuat oleh kritikus
Indonesia melalui beberapa teori. Pada umumnya, kebanyakan kritik sastra ada
yang mengkomersil terbatas kepada tibangan bentuk buku tanpa memperhatikan
nilai-nilai karya sastra lagi dan lebih mendekati resensi buku, seperti kiritik
yang dilakukan Oleh Rossidy.
RACING CASINO - DRMCD
ReplyDeleteRACING CASINO is the most authentic place in Las Vegas. 용인 출장샵 Experience the excitement of Vegas, Nevada and 문경 출장마사지 become 당진 출장마사지 a professional gambler 창원 출장안마 with an 과천 출장샵 amazing