Sunday 14 June 2015

Review BAB V Buku Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik Sastra Modern Karangan Rachmat Djoko Pradopo tentang Teori Kritik dan Pelanksanaan Kritik dalam Kritik Sastra Indonesia Modern

Oleh Mariyadi
Dalam perkembangannya, sastra dan kritik sastra selalu berubah-ubah paham. Pertama paham sastra sebagai pendidikan, kedua seni untuk seni, dan seni sebagai humanisme  universal. Pada masa permulaan kesustraaan Indonesia (sekitar 20-an), belumlah dikemukakan teori tentang penilaian, kecuali hanya dapat kita simpulkan dari karya-karya sastrawana, yaitu bahwa kesusastraan harus memberi didikan kepada masyarakat. Oleh karena itu, secara objektif, karya-karya mereka ditinjau dari hakekat seni sastra kurang mutu seninya.

Setelah taraf pendidikan (taraf pertama), taraf kedua diawali dengan munculnya sastrawan-sastrawan Pujangga Baru, maka timbul pula paham-paham tentang seni pada umumnya dan sastra pada khususnya. Tokoh utama dalam zaman in adalah Sutan Takdir Alisjahbana, amir hamzah, Sanusie Pane, dan Armin Pane.
Sesuai dengan pandangannya seni betendens dan pandangan bahwa dalam hal kebudayaan Indonesia baru hasulah berorientasi ke barat, maka STA mengkritik karya sastra yagm tidak bertendens kemajuan sebagai karya yang lemah, sedangkan pernyataan seninya dijatuhkan pada nomor dua.
Dengan pendapatnya, penilaian takdir cendrung kepada absolitisime, soalnya, dalam seni bukannya hanya mencari keindahan melulu. Akan tetapi, dengan adanya “keindahan” tentu ide yang dikemukakan akan menjadi lebih menarik Karena lebih menyenangkan. Dengan demikian, sesungguhnya kepatahuhan kepada hakekat dan hokum seni sastra bukannya kepatuhan tanpa tujuan.
Selama perang kemerdekaan karena agresi Belanda, masuklah paham baru yang diperkenalkan oleh van Nieuwenhuyze kepada para sastrawan Indoenesia di Jakarta, ialah paham “humanisme”, yang pada akhirnya terkenal dengan nama “humanisme universal”, sedang para sastrawan di pedalaman turut berjuang, menggabungkan diri dengan para gerilyawan, mengacaubalaukan benteng pertahanan Belanda.
Baru sesudah pemulihan kekuasaan ke tangan Pemerintah Republik Indoensia 27 Desember 1949, perumusan mengenai  paham dan penlaian terhadap kessteraan dibuat oleh para sastrawan angkatan 45. Perumusan itu termuat dalam surat kepercayaan gelanggang bertanggal 18 perbruari 1950 dan dimuat dalam majalah siasat 22 oktober 1950.
Para sastrawan baru itu menginginkan kebudayaan Indonesia baru, yang terjadi dari ramuan kebudayaan dunia dan dilontarkan kembali dalam bentuk suara sendiri. Sebab itu mereka menghendaki penilaian yang baru untuk mengganti penilaian yang using. Tentunya di sii yang dimaksudkan dengan penilaian usang itu, dalam bidang sastra, ialah penilaian Balai Pustaka dan Pujangga Baru. Dalam mencari dan menemukan yang pokohj ditemui ialah manusia. Ini sesuai dengan paham humanisme universal tersebut, yaitu paham yamg mementingkan hakekat manusia universal, yamg umum, tanpa membeda-bedakan golongan bangsa.
Sementara itu kerena adanya bermaca-macam golongan di Indonesia ini, maka pada tanggal 17 Agustus 1950  berdirilah Lembaga Kebudayaan Rakyat, disingkat Lekra. Dalam lekra ini berkumpullah karyawan-karyawan seni dan budaya, di antaranya para sastrawan yang berpaham sosialisme (komunisme). Lekra menghendaki seni yang mengabdi kepada rakyat, sebagai tercantum dalam mukadimah Lekra yang dimuat dalam majalah Zaman Baru, no 3, Juni 1556.
Para sastrawan Lekra menghendaki kesusteraaan yang berpaham realisme-sosialis. Paham ini datang dari Negara sosialis Rusia dengan tokohnya Maxim Gorky. Gaung pikiran Gorky ini bergema ke negri-negri sosialis  (komunis) dan masuk juga ke Indonesia melalui golongan komunis pada zaman gestapu. Hal ini ternyata dalam Mukadimah Lekra yang mengemukakan bahwa rakyat adalah satu-satunya pencipta kebudayaan dan penbangunan kebudayaan Indonesia baru hanya dapat dilakukan rakyat.
Serangan-serangan dari pihak sastrawan Lekra kepada sastrawan-sastrawan yang bukan Lekra terus berjalan sampai pada pecahnya pemberontakan G. 30 S/PKI. Serangan itu menimbulkan reaksi para sastrawan dan budayawan di Luar Lekra sehingga akhirnya menimbulkan tercetusnya ide baru, gagasan baru dalam bidang kebudayaan pda umumnya, bidang kesustraan pada khusunya. Ide itu tercetus berupa “Menifest Kebudayaan” pada tanggal 17 Agustus 1963 di Jakarta dan pada akhirnya Manikebu di larang presiden Sukarno pada 8 Mei 1964.
Dalam pembahasan selanjutnya dibahas beberapa contoh kritik yang dibuat oleh kritikus Indonesia melalui beberapa teori. Pada umumnya, kebanyakan kritik sastra ada yang mengkomersil terbatas kepada tibangan bentuk buku tanpa memperhatikan nilai-nilai karya sastra lagi dan lebih mendekati resensi buku, seperti kiritik yang dilakukan Oleh Rossidy.


1 comments:

  1. RACING CASINO - DRMCD
    RACING CASINO is the most authentic place in Las Vegas. 용인 출장샵 Experience the excitement of Vegas, Nevada and 문경 출장마사지 become 당진 출장마사지 a professional gambler 창원 출장안마 with an 과천 출장샵 amazing

    ReplyDelete

 
© 2013 PENERBIT ALOY | Designed by Making Different | Provided by Techvela | Powered by Blogger